Dahulu
kala di Padang Sumatera Barat tepatnya di Perkampungan Pantai Air Manis ada
seorang wanita bernama Mande Rubayah.
Sebelumnya
Mande Rubayah hidup bersama suaminya di pedalaman. Tetapi hidup mereka di sana
kurang beruntung. Agar dapat merubah nasibnya mereka kemudian pindah ke
perkampungan nelayan di tepi pantai.
Di tempat
itu suami Mande Rubayah merubah mata pencaharian, dari tukang perambah hasil
hutan sekarang menjadi nelayan ikan. Mereka bersyukur karena rejeki datang
dengan lancar, hidup mereka tidak lagi sesulit ketika berada di pedalaman.
Beberapa
tahun tinggal di perkampungan nelayan, mereka dikaruniai seorang anak laki-laki
bernama Malin Kundang. Malin Kundang sangat disayangi oleh orang tuanya.
Kira0kira
ketika Malin Kundang berumur sepuluh tahun, ia sering diajak ayahnya ke laut
untuk diajari menjadi nelayan yang ulung. Harapan sang ayah nantinya Malin
Kundang bisa menjadi pemuda yang tangguh, terampil sebagai nelayan sejati
sehingga mampu mencukupi kebutuhannya sendiri.
Meskipun
masih anak-anak, sudah nampak pada Malin Kundang wataknya yang berkemauan
keras, otaknya cerdas dan pandai bergaul sehingga disukai oleh teman-temannya.
Pada
suatu hari ayah pamit berangkat melaut. “Malin Kundang! Ayah berangkat,
hati-hati di rumah bersama ibu, jangan nakal ya!” kata sang ayah.
“Ya Ayah,
Malin akan baik-baik saja bersama Ibu.” Jawab sang anak.
“Istriku
… aku berangkat. Jaga Malin baik-baik!”
“Jangan
kuatir suamiku, aku akan menjaga anak kita satu-satunya ini dengan jiwa ragaku.
Berangkatlah suamiku, do’a kami berdua menyertaimu.” Kata Mande Rubayah.
Tidak
seperti biasanya, ada perasaan hari di hati Manda Rubayah. Kepergian suaminya
kali ini dirasa sangat berat. Tak tahu kenapa ia punya perasaan seperti ini.
Sang
suami berangkat dengan hati lapang, Malin Kundang masih sempat melambaikan
tangannya ketika sang ayah melangkahkan kaki menuju perahu.
Pada
suatu hari kampung nelayan itu dilanda wabah penyakit yang mematikan. Sudah
banyak orang yang menjadi korban. Malin Kundang termasuk salah satu orang yang
terserang penyakit itu.
Mande
Rubayah makin gelisah karena sudah beberapa hari ini suaminya belum kembali ke
rumah. Sementara penyakit Malin makin hari makin bertambah parah.
“Apa yang
terjadi dengan suamiku, kenapa sudah sepekan tidak pulang, apakah ia mendapat
musibah di tengah lautan?” demikian tanya Mande Rubayah dalam hati. Tak terasa
air matanya berlinang.
Dengan
sebisa-bisanya ia berusaha mengobati Malin anaknya.
Ia
berdo’a siang malam demi kesembuhan anaknya.
Atas
kesungguhan usahanya dan ketulusan do’anya, keadaan Malin Kundang
berangsur-angsur membaik, dan tak lama kemudian anak itu sembuh dari
penyakitnya.
“Alhamdulillah
… anakku sembuh juga akhirnya,” demikian desah Mande Rubayah penuh rasa syukur
kepada Tuhan.
Nyawa
Malin yang hampir melayang itu akhirnya dapat diselamatkan berkat usaha keras
ibunya. Setelah sembuh dari sakitnya ia makin disayang. Demikianlah Mande
Rubayah sangat menyayangi anaknya. Sebaliknya Malin juga amat sayang kepada
ibunya.
Karena
tak ketahuan berita suaminya lagi, maka Mande Rubayah membanting tulang dengan
berjualan kue. Setiap hari ia menjajakan kue ke kampung-kampung. Hasilnya
lumayan juga, cukup dimakan ia dan anaknya.
Tak terasa
hari berganti tahun berlalu, sekarang Malin Kundang sudah tumbuh menjadi
remaja. Hasil didikan ayahnya masih membekas dan mengakar dalam dirinya. Ia
sudah sering ikut mengarungi laut bersama nelayan lainnya.
Ia
seorang pemuda yang cerdas dan tangguh. Hasil tangkapan ikannya jauh melebihi
teman-temannya yang lain.
Malin
Kundang sangat sayang kepada ibunya. Ia juga dikenal sebagai anak muda yang
ramah, tidak sombong sehingga banyak disukai oleh teman-temannya.
Tetapi ia
tidak puas dengan keadaannya. Sering kali ia duduk di tepi pantai sambil
merenung.
“Kalau
aku tetap di sini nasibku akan tetap begini.” Demikian pikir Malin Kundang.
“Aku tak ingin nasibku tetap seperti ini, Emakku sudah tua. Sebagai seorang
anak aku belum pernah berbuat sesuatu untuk menyenangkan hatinya.
Aku akan
merantau, semoga nasibku baik, jika aku sudah jadi orang kaya maka Emakku akan
kuajak dan kubangunkan rumah yang bagus dan indah.”
Tidak
hanya di tepi pantai, di rumah pun ia juga sering kelihatan melamun sehingga
sang ibu menegurnya.
“Apa yang
kau lamunkan anakku?” tegur Mande Rubayah.
“Oh, Emak
… tidak mak, tidak apa-apa.” Sahut Malin.
“Apakah
karena kau sudah akil balig maka aku harus mencarikan anak gadis sebagai
pendamping hidupmu?”
“Ah, Emak
… aku belum pernah memikirkan hal itu.”
“Lalu apa
yang kau sembunyikan dariku, Nak? Coba kau utarakan kepadaku.”
Malin
Kundang terdiam, disatu pihak ia merasa kasihan kepada ibunya yang sudah tua,
haruskah ia tinggalkan ibunya seorang diri. Di sisi lain ia merasa harus pergi
dari kampung halaman untuk merubah nasibnya.
Dengan
berat hati akhirnya ia berkata juga. “Emak … ijinkan aku pergi merantau,
mengadu nasib untuk mancari rejeki.”
“Tetapi
anakku … bukankah di sini kita tak pernah kesulitan. Aku masih sanggup untuk
berjualan kue.”
“Benar
mak … kalau sekedar untuk makan memang sudah cukup. Tapi apakah Emak sudah puas
dengan keadaan hidup seperti ini?”
“Jadi apa
yang kau inginkan Malin?”
“Emak,
aku selalu bermimpi tentang rumah yang bagus. Pakaian yang indah dan mahal
untuk Emak. Nasib kita tidak terus seperti ini. Emak tidak usah bekerja menjual
kue. Kalau aku berhasil akan kusediakan beberapa pelayan yang akan memenuhi
segala keperluan Emak.”
Mande
Rubayah terharu mendengar perkataan anaknya. Tanpa terasa air matanya menetes
di pipi.
“Oh Malin
… jadi kau hendak pergi merantau semata-mata hanya karena ingin menyenangkan
dan membahagiakan Emakmu. Sungguh mulia cita-citamu. Itulah tandanya kau
benar-benar anak yang berbakti.”
“Memang
itulah cita-citaku Emak.”
“Kalau
begitu aku tidak keberatan. Sewaktu-waktu kau boleh pergi.”
“Oh, jadi
emak mengijinkan aku merantau?”
Setelah
mengadakan persiapan seperlunya, Malin Kundang berangkat meninggalkan kampung
halaman Pantai Air Manis. Sang ibu melepasnya dengan cucuran air mata dan
iringan do’a.
“Ya
Tuhan, lindungilah anakku dari segala macam marabahaya.”
Meski
dengan berat hati akhirnya Mande Rubayah mengijinkan anaknya pergi. Malin
dibekali dengan nasi berbungkus daun pisang sebanyak tujuh bungkus.
Setelah
sekian lama dalam perjalanan. Malin sampai di pelabuhan besar yang ramai dengan
para pedagang dan kapal-kapal layar yang besar.
Di
dermaga pelabuhan nampak sebuah kapal besar yang hendak bersiap berlayar menuju
negeri sebrang. Malin mendekati kapal itu. Ia bertemu dengan nahkoda itu.
“Saya bermaksud
mencari pekerjaan di kapal. Tolonglah tuan, pekerjaan apapun yang tuan berikan
akan saya laksanakan.”
“Betul
kau mau bekerja apa saja di kapal ini?”
“Betul
tuan!”
Mulai
saat ini Malin bekerja sebagai awak kapal dagang.
Mula-mula
ia bekerja sebagai tukang pembersih geladak kapal.
Karena
rajin dan cerdas ia disayang oleh sang nahkoda. Tak jarang jika waktu luang ia
membantu keperluan pribadi sang nahkoda. Ia juga bersedia memijat sang nahkoda
jika sedang kelelahan.
Lama
kelamaan sang nahkoda yang tak punya anak itu menganggap Malin sebagai anaknya
sendiri. Malin diajari tata cara mengemudi kapal.
Ketika
sang nahkoda berusia lanjut, Malin diangkat sebagai penggantinya. Malin sangat
pandai dan berbakat menjadi pedagang, dalam beberapa tahun saja ia sudah
memiliki kapal sendiri. Ia berniaga ke berbagai negeri. Setelah sekian tahun ia
sudah berhasil menjadi saudagar muda yang terkenal.
Di sebuah
pelabuhan di negeri Malaka ia mendirikan bangunan megah untuk kantor dagangnya.
Keberhasilan dan kemasyurannya sampai ke negeri minang tempat kelahirannya.
Malin
Kundang menikah dengan seorang gadis cantik, puteri saudagar kaya raya.
Kehidupan Malin Kundang mapan dan bahagia.
Sementara
itu, hari-hari berlalu terasa lambat bagi Mande Rubaya. Setiap pagi dan sore Mande
Rubayah memandang ke laut. Ia ia bertanya-tanya dalam hati, sampai di manakah
anaknya kini?
Jika ada
ombak dan badai besar menghempas ke pantai, dadanya berdebar-debar.
Ia
menengadahkan kedua tangannya ke atas sembari berdo’a agar anaknya selamat dalam
pelayaran.
Jika ada
kapal yang datang merapat ia selalu menanyakan kabar tentang anaknya.
Tetapi
semua awak kapal atau nahkoda tidak pernah memberikan jawaban yang memuaskan.
Malin tak
pernah menitipkan barang atau pesan apapun kepada ibunya.
Itulah
yang dilakukan Mande Rubayah setiap hari selama bertahun-tahun.
Tubuhnya
semakin tua dimakan usia. Jika berjalan ia mulai terbungkuk-bungkuk.
Pada
suatu hari Mande Rubayah mendapat kabar dari teman yang pernah merantau ke
Malaka, bahwa Malin sekarang telah menikah dengan seorang gadis cantik putri
seorang bangsawan kaya raya. Ia turut gembira mendengar kabar itu. Ia selalu
berdo’a agar anaknya selamat dan segera kembali menjenguknya.
“Ibu
sudah tua Malin, kapan kau pulang … “ rintih Mande Rubayah tiap malam. “Ya
Tuhan … lindungilah anakku dari segala marabahaya, pertemukanlah ia denganku
sebelum ajal datang menjemputku.”
Namun
hingga berbulan-bulan semenjak ia menerima kabar Malin belum juga datang
menengoknya. Namun ia yakin bahwa pada suatu saat Malin pasti akan kembali.
Harapannya
terkabul. Pada suatu hari yang cerah dari kejauhan tampak sebuah kapal yang
indah berlayar menuju pantai. Kapal itu megah dan bertingkat-tingkat. Orang
kampung mengira kapal itu milik seorang sultan atau seorang pangeran. Mereka
menyambutnya dengan gembira.
Ketika
kapal itu mulai merapat, tampak sepasang muda-mudi berdiri di anjungan. Pakaian
mereka berkilauan terkena sinar matahari. Wajah mereka cerah dihiasi senyum.
Mereka nampak bahagia karena disambut dengan meriah.
Mande
Rubayah yang sudah tua renta terbaring sakit di rumahnya. Burhan dan istrinya –
teman Malin semenjak kecil segera mendatangi Mande Rubayah. Mereka memapah
Mande Rubayah yang berjalan tertatih-tatih menuju tepi pantai.
Dengan
susah payah Mande Rubayah ikut berdesakan melihat dan mendekati kapal.
Jantungnya berdebaran keras. Dia sangat yakin sekali bahwa lelaki muda itu
adalah anak kesayangannya si Malin Kundang.
Belum
lagi ketua Desa sempat menyambut, ibu Malin terlebih dahulu menghampiri Malin.
Ia langsung memeluk Malin erat-erat. Seolah takut kehilangan anaknya lagi.
“Malin,
anakku,” katanya menahan isak tangis karena gembira. “Mengapa begitu lamanya
kau tidak memberi kabar?”
Malin
terpana karena dipeluk wanita tua renta yang berpakaian compang-camping itu. Ia
tak percaya bahwa wanita itu adalah ibunya.
Seingat
Malin, ibunya adalah seorang wanita berbadan tegar yang kuat menggendongnya ke
mana saja. Sebelum dia sempat berpikir dengan tenang, istrinya yang cantik itu
meludah sambil berkata, “Cuih! Wanita buruk inikah ibumu? Mengapa kau
membohongi aku?”
Lalu dia
meludah lagi. “Bukankah dulu kau katakan ibumu adalah seorang bangsawan
sederajad dengan kami?”
Mendengar
kata-kata istrinya, Malin Kundang mendorong wanita itu hingga terguling ke
pasir. Mande Rubaya hampir tidak percaya pada perlakuan anaknya, ia jatuh
terduduk sambil berkata “Malin, Malin, anakku. Aku ini ibumu, Nak!”
Malin
Kundang tidak menghiraukan perkataan ibunya. Pikirannya kacau karena ucapan
istrinya. Seandainya wanita itu benar ibunya, dia tidak akan mengakuinya. Ia
malu kepada istrinya. Melihat wanita itu beringsut hendak memeluk kakinya,
Malin menendangnya sambil berkata “Hai, Perempuan tua! Ibuku tidak seperti
engkau ! Melarat dan dekil !”
Wanita
tua itu terkapar di pasir. Burhan dan istrinya hampir tak percaya melihat
kejadian itu.
”Malin
…!” teriak Burhan, “Setega itukah hatimu? Dia adalah ibumu! Ibu kandungmu
sendiri!”
“Siapa
pula kau anak muda?” hardik Malin pada Burhan.
“Aku
Burhan temanmu bermain sejak kecil!”
“Aku
tidak mengenalmu!” bentak Malin.
Mande
Rubayah yang barusan terkapar dengan susah payah dibantu istri burhan segera
bangkit, “Malin … benarkah kau sudah lupa pada aku ibumu Mande Rubayah.”
“Hai
wanita tua dan miskin, aku saudagar kaya, bukan anakmu. Enyahlah kau dari
hadapanku.”
Perempuan
tua itu akhirnya hanya bisa menangis. “Ya Allah, Malin Kundang rupanya malu
mengakui aku sebagai ibunya.”
Tiba-tiba
Malin Kundang menunjuk ke arah Bendahara kapal “Hai bendahara kapal, berilah
wanita tua ini uang agar tidak menggangguku.”
Mande
Rubayah cepat menyahut “Tidak! Aku tidak butuh uang!”
“Hai
wanita tua dan miskin kau tidak butuh uang, lalu apa yang kau inginkan dariku?”
“Aku hanya butuh pengkuan bahwa aku adalah
ibumu, setiap hari aku merindukanmu!"
"Sudah kukatakan aku bukan anakmu, kau bukan ibuku! Jika kau memaksaku akau kusuruh orang-orangku berbuat kasar padamu!"
Mande Rubayah terhenyak, benar-benar hancur hatinya dengan lemas ia berkata lembut "Baiklah anak muda, mungkin mataku ini sudah rabun salah mengenali orang. untuk itu aku minta ma'af kepadamu karena aku telah mengganggumu."
"Nah, begitu kau seharusnya tahu diri sejak tadi!" sahut Malin.
Tiba-tiba Mande Rubayah mampu berdiri tegak. Entah kekuatan apa yang menyertainya. Sepasang matanya berkilat-kilat, ketika bicara suaranya terdengar lantang.
"Tetapi anak muda ...! Jika kau adalah anakku yang kuberi nama Malin Kundang, yang kukandung selama sembilan bulan sepuluh hari. Dan kubesarkan dengan cucuran air susuku, maka terkutuklah engkau!"
Semua orang kaget mendengar ucapan wanita renta ini. Wanita tua ini kemudian bersimpuh di atas tanah, dengan sungguh-sungguh ia berdo'a, "Ya Allah ya Tuhanku, Engkau lebih tahu hukuman apa yang harus kau berikan kepada anak durhaka ini! Anak yang telah mencaci maki ibunya sendiri! Menghina ibu kandung di hadapan istrinya dan orang banyak! Ya Allah tujukkanlah kebesaran-Mu."
Malin Kundang dan istrinya, beserta seluruh awak kapal dan penduduk yang berkerumun merinding mendengar ucapan Mande Rubayah.
"Burhan mari kita tinggalkan tempat ini!" kata Mande Rubayah. Wanita itu segera dipapah menuju rumahnya.
Orang banyak terpana dan kemudian pulang ke rumah masing-masing. Rombongan Malin Kundang juga segera kembali ke kapal. Tak berapa lama Pantai Air Manis sudah sepi. Kapal berlayar ke tengah laut. Meninggalkan bekas kekecewaan seorang ibu tua yang tersia-sia.
Di dalam kapal pesiar yang mewah, Malin Kundang nampak gelisah. Bagaimanapun ia tak bisa membohongi diri sendiri. Ia ngeri membayangkan kutukan ibunya.
Terbesit rasa sesal di dalam hatinya. "Mengapa aku tega berbuat demikian, padahal dia adalah ibu kandungku sendiri."
Di sudut hatinya yang lain ia menghibur diri, mudah-mudahan wanita tua itu bukan ibunya. Kutukannya tidak menjadi kenyataan, ia akan hidup bahagia bersama istrinya hingga hari tua.
Istri ... ? Jika ia ingat istrinya ia jadi gemetar, justru karena rasa malu pada keluarga istrinya ia telah tega berbuat jahat terhadap ibunya.
"Oh ibu ... !" tanpa sadar terdengar teriakan lirih dari bibir Malin Kundang. "Ma'afkan anakmu ini ... !"
Istri Malin Kundang ada di sampingnya kaget mendengar ucapan suaminya.
"Kanda ...! Ada apa kiranya? Apakah wanita tua itu benar-benar ibumu?" tanya istri Malin Kundang dengan gelisah.
Kapal terus bergerak ke tangah laut. Melalui gunung monyet terus menuju Malaka. Tiba-tiba cuaca yang tadinya cerah berubah total menjadi kelam bahkan menjadi gelap, tak berapa lama kemudian hujan turun dengan hebatnya disertai badai.
Langit semakin kelam, angin bertiup semakin kencang, gelombang lautan semakin membumbung tinggi. Tiba-tiba terdengar suara halilintar menyambay membelah langit. Disusul hujan badai yang menimbulkan gelombang besar, mengamuk dan menakutkan.
Jika alam sudah murka tak ada lagi kesombongan manusia. Mereka hanya berusaha semampunya, lalu pasrah kepada sang pencipta alam.
Seluruh awak kapal dicekam ketakutan.
Malin Kundang keluar dari bilik menuju geladak kapal. Dia berusaha memberi arahan kepada anak buahnya agar dapat mengendalikan kapal yang sudah tak karuan arahnya.
Tiba-tiba nampak bayangan ibunya yang tua renta. Terbayang pula saat ia mendorong wanita itu hingga rebah ke tanah.
"Emaaaak .... !" tanpa sadar ia berteriak memanggil ibunya.
Istri Malin kaget, ia ikut keluar geladak, melihat suaminya kebingungan dan ketakutan seperti melihat hantu.
"Kakanda ... apa yang terjadi ...?" tanya istri Malin Kundang dengan penuh rasa takut dan kawatir.
"Wanita tadi ... wanita tua dan miskin itu ... dia adalah ibuku sendiri, Emakku sendiri ... !"
"Apa? Wanita itu ibumu sendiri? Astaga! Celakalah kita kali ini."
"Benar ! Aku telah durhaka kepada ibuku sendiri, ibu yang telah mengandung dan membesarkanku dengan air susu dan kasih sayangnya, sungguh aku telah berdosa ... sungguh aku menyesal!"
"Kakanda mengapa kau tidak mengtakannya sejak tadi?" Malin seperti tak mendengar pertanyaan istrinya lagi. Gemuruh ombak dan petir bersaut-sautan, menambah seramnya suasana di tengah laut, kapal oleng ke sana ke mari tanpa dapat di kendalikan lagi.
Tiba-tiba ombak setinggi bukit, menghempas dan menerjang lambung kapal Malin Kundang. Kapal jadi terguncang hebat, tubuh istri Malin terlempar ke laut yang sedang mengganas.
"Kakandaaaa ... ! Tolong Akuuuu ....!"
Malin hanya bisa memandangi tubuh istrinya yang terjatuh ke laut. Jangankan menolong istrinya, menyelamatkan diri sendiri saja ia tak mampu. Satu persatu awak kapal juga terlempar ke laut, Malin makin panik dan ketakutan.
"Emak ... ampuni akuuu ... cabutlah kutukanmu ... !"
Tapi suara gemuruh ombak dan badai terlalu keras dan dahsyat, menelan suara anak manusia yang bagaikan setitik debu di tengah laut.
"Emak ampuni akuuuu ....!"
Tapi nasi sudah menjadi bubur, rasa sakit seorang ibu telah berubah menjadi ketakutan alam yang dahsyat. Gelombang laut semakin mengganas, diiringi badai dan guntur yang membahana. Menelan teriakan Malin yang mohon ampun kepada ibunya.
Tak terhindarkan lagi, di telu Air Manis, kapal Malin terhempas dan kandas. Malin Kundang tewas.
Ketika matahari pagi memancarkan sinarnya, badai telah reda. Di kaki bukit terlihat kepingan kapal yang telah menjadi batu. itulah kapal Malin Kundang. tak jauh dari tempat itu nampak sebongkah batu yang menyerupai tubuh manusia. Konon itulah tubuh Malin Kundang anak durhaka yang kena kutuk ibunya menjadi batu. Di sela-sela batu itu berenang-renang ikan teri, ikan belanak, dan ikan tenggiri. Konon, ikan itu berasal dari serpihan tubuh sang istri yang terus mencari Malin Kundang.
Demikianlah, sampai sekarang, jika ada ombak besar menghantam batu-batu yang mirip kapal dan manusia itu, terdengar bunyi seperti lolongan jerit manusia. Sungguh memilukan kedengarannya. Kadang-kadang bunyinya seperti orang meratap menyesali diri. "Ampuuuun, Bu ... ! Ampuuuu, Bu ... !" konon itulah suara si Malin Kundang.