Kamis, 01 Maret 2012

MALIN KUNDANG ANAK DURHAKA


Dahulu kala di Padang Sumatera Barat tepatnya di Perkampungan Pantai Air Manis ada seorang wanita bernama Mande Rubayah.
Sebelumnya Mande Rubayah hidup bersama suaminya di pedalaman. Tetapi hidup mereka di sana kurang beruntung. Agar dapat merubah nasibnya mereka kemudian pindah ke perkampungan nelayan di tepi pantai.
Di tempat itu suami Mande Rubayah merubah mata pencaharian, dari tukang perambah hasil hutan sekarang menjadi nelayan ikan. Mereka bersyukur karena rejeki datang dengan lancar, hidup mereka tidak lagi sesulit ketika berada di pedalaman.
Beberapa tahun tinggal di perkampungan nelayan, mereka dikaruniai seorang anak laki-laki bernama Malin Kundang. Malin Kundang sangat disayangi oleh orang tuanya.
Kira0kira ketika Malin Kundang berumur sepuluh tahun, ia sering diajak ayahnya ke laut untuk diajari menjadi nelayan yang ulung. Harapan sang ayah nantinya Malin Kundang bisa menjadi pemuda yang tangguh, terampil sebagai nelayan sejati sehingga mampu mencukupi kebutuhannya sendiri.
Meskipun masih anak-anak, sudah nampak pada Malin Kundang wataknya yang berkemauan keras, otaknya cerdas dan pandai bergaul sehingga disukai oleh teman-temannya.
Pada suatu hari ayah pamit berangkat melaut. “Malin Kundang! Ayah berangkat, hati-hati di rumah bersama ibu, jangan nakal ya!” kata sang ayah.
“Ya Ayah, Malin akan baik-baik saja bersama Ibu.” Jawab sang anak.
“Istriku … aku berangkat. Jaga Malin baik-baik!”
“Jangan kuatir suamiku, aku akan menjaga anak kita satu-satunya ini dengan jiwa ragaku. Berangkatlah suamiku, do’a kami berdua menyertaimu.” Kata Mande Rubayah.
Tidak seperti biasanya, ada perasaan hari di hati Manda Rubayah. Kepergian suaminya kali ini dirasa sangat berat. Tak tahu kenapa ia punya perasaan seperti ini.
Sang suami berangkat dengan hati lapang, Malin Kundang masih sempat melambaikan tangannya ketika sang ayah melangkahkan kaki menuju perahu.
Pada suatu hari kampung nelayan itu dilanda wabah penyakit yang mematikan. Sudah banyak orang yang menjadi korban. Malin Kundang termasuk salah satu orang yang terserang penyakit itu.
Mande Rubayah makin gelisah karena sudah beberapa hari ini suaminya belum kembali ke rumah. Sementara penyakit Malin makin hari makin bertambah parah.
“Apa yang terjadi dengan suamiku, kenapa sudah sepekan tidak pulang, apakah ia mendapat musibah di tengah lautan?” demikian tanya Mande Rubayah dalam hati. Tak terasa air matanya berlinang.
Dengan sebisa-bisanya ia berusaha mengobati Malin anaknya.
Ia berdo’a siang malam demi kesembuhan anaknya.
Atas kesungguhan usahanya dan ketulusan do’anya, keadaan Malin Kundang berangsur-angsur membaik, dan tak lama kemudian anak itu sembuh dari penyakitnya.
“Alhamdulillah … anakku sembuh juga akhirnya,” demikian desah Mande Rubayah penuh rasa syukur kepada Tuhan.
Nyawa Malin yang hampir melayang itu akhirnya dapat diselamatkan berkat usaha keras ibunya. Setelah sembuh dari sakitnya ia makin disayang. Demikianlah Mande Rubayah sangat menyayangi anaknya. Sebaliknya Malin juga amat sayang kepada ibunya.
Karena tak ketahuan berita suaminya lagi, maka Mande Rubayah membanting tulang dengan berjualan kue. Setiap hari ia menjajakan kue ke kampung-kampung. Hasilnya lumayan juga, cukup dimakan ia dan anaknya.
Tak terasa hari berganti tahun berlalu, sekarang Malin Kundang sudah tumbuh menjadi remaja. Hasil didikan ayahnya masih membekas dan mengakar dalam dirinya. Ia sudah sering ikut mengarungi laut bersama nelayan lainnya.
Ia seorang pemuda yang cerdas dan tangguh. Hasil tangkapan ikannya jauh melebihi teman-temannya yang lain.
Malin Kundang sangat sayang kepada ibunya. Ia juga dikenal sebagai anak muda yang ramah, tidak sombong sehingga banyak disukai oleh teman-temannya.
Tetapi ia tidak puas dengan keadaannya. Sering kali ia duduk di tepi pantai sambil merenung.
“Kalau aku tetap di sini nasibku akan tetap begini.” Demikian pikir Malin Kundang. “Aku tak ingin nasibku tetap seperti ini, Emakku sudah tua. Sebagai seorang anak aku belum pernah berbuat sesuatu untuk menyenangkan hatinya.
Aku akan merantau, semoga nasibku baik, jika aku sudah jadi orang kaya maka Emakku akan kuajak dan kubangunkan rumah yang bagus dan indah.”
Tidak hanya di tepi pantai, di rumah pun ia juga sering kelihatan melamun sehingga sang ibu menegurnya.
“Apa yang kau lamunkan anakku?” tegur Mande Rubayah.
“Oh, Emak … tidak mak, tidak apa-apa.” Sahut Malin.
“Apakah karena kau sudah akil balig maka aku harus mencarikan anak gadis sebagai pendamping hidupmu?”
“Ah, Emak … aku belum pernah memikirkan hal itu.”
“Lalu apa yang kau sembunyikan dariku, Nak? Coba kau utarakan kepadaku.”
Malin Kundang terdiam, disatu pihak ia merasa kasihan kepada ibunya yang sudah tua, haruskah ia tinggalkan ibunya seorang diri. Di sisi lain ia merasa harus pergi dari kampung halaman untuk merubah nasibnya.
Dengan berat hati akhirnya ia berkata juga. “Emak … ijinkan aku pergi merantau, mengadu nasib untuk mancari rejeki.”
“Tetapi anakku … bukankah di sini kita tak pernah kesulitan. Aku masih sanggup untuk berjualan kue.”
“Benar mak … kalau sekedar untuk makan memang sudah cukup. Tapi apakah Emak sudah puas dengan keadaan hidup seperti ini?”
“Jadi apa yang kau inginkan Malin?”
“Emak, aku selalu bermimpi tentang rumah yang bagus. Pakaian yang indah dan mahal untuk Emak. Nasib kita tidak terus seperti ini. Emak tidak usah bekerja menjual kue. Kalau aku berhasil akan kusediakan beberapa pelayan yang akan memenuhi segala keperluan Emak.”
Mande Rubayah terharu mendengar perkataan anaknya. Tanpa terasa air matanya menetes di pipi.
“Oh Malin … jadi kau hendak pergi merantau semata-mata hanya karena ingin menyenangkan dan membahagiakan Emakmu. Sungguh mulia cita-citamu. Itulah tandanya kau benar-benar anak yang berbakti.”
“Memang itulah cita-citaku Emak.”
“Kalau begitu aku tidak keberatan. Sewaktu-waktu kau boleh pergi.”
“Oh, jadi emak mengijinkan aku merantau?”
Setelah mengadakan persiapan seperlunya, Malin Kundang berangkat meninggalkan kampung halaman Pantai Air Manis. Sang ibu melepasnya dengan cucuran air mata dan iringan do’a.
“Ya Tuhan, lindungilah anakku dari segala macam marabahaya.”
Meski dengan berat hati akhirnya Mande Rubayah mengijinkan anaknya pergi. Malin dibekali dengan nasi berbungkus daun pisang sebanyak tujuh bungkus.
Setelah sekian lama dalam perjalanan. Malin sampai di pelabuhan besar yang ramai dengan para pedagang dan kapal-kapal layar yang besar.
Di dermaga pelabuhan nampak sebuah kapal besar yang hendak bersiap berlayar menuju negeri sebrang. Malin mendekati kapal itu. Ia bertemu dengan nahkoda itu.
“Saya bermaksud mencari pekerjaan di kapal. Tolonglah tuan, pekerjaan apapun yang tuan berikan akan saya laksanakan.”
“Betul kau mau bekerja apa saja di kapal ini?”
“Betul tuan!”
Mulai saat ini Malin bekerja sebagai awak kapal dagang.
Mula-mula ia bekerja sebagai tukang pembersih geladak kapal.
Karena rajin dan cerdas ia disayang oleh sang nahkoda. Tak jarang jika waktu luang ia membantu keperluan pribadi sang nahkoda. Ia juga bersedia memijat sang nahkoda jika sedang kelelahan.
Lama kelamaan sang nahkoda yang tak punya anak itu menganggap Malin sebagai anaknya sendiri. Malin diajari tata cara mengemudi kapal.
Ketika sang nahkoda berusia lanjut, Malin diangkat sebagai penggantinya. Malin sangat pandai dan berbakat menjadi pedagang, dalam beberapa tahun saja ia sudah memiliki kapal sendiri. Ia berniaga ke berbagai negeri. Setelah sekian tahun ia sudah berhasil menjadi saudagar muda yang terkenal.
Di sebuah pelabuhan di negeri Malaka ia mendirikan bangunan megah untuk kantor dagangnya. Keberhasilan dan kemasyurannya sampai ke negeri minang tempat kelahirannya.
Malin Kundang menikah dengan seorang gadis cantik, puteri saudagar kaya raya. Kehidupan Malin Kundang mapan dan bahagia.
Sementara itu, hari-hari berlalu terasa lambat bagi Mande Rubaya. Setiap pagi dan sore Mande Rubayah memandang ke laut. Ia ia bertanya-tanya dalam hati, sampai di manakah anaknya kini?
Jika ada ombak dan badai besar menghempas ke pantai, dadanya berdebar-debar.
Ia menengadahkan kedua tangannya ke atas sembari berdo’a agar anaknya selamat dalam pelayaran.
Jika ada kapal yang datang merapat ia selalu menanyakan kabar tentang anaknya.
Tetapi semua awak kapal atau nahkoda tidak pernah memberikan jawaban yang memuaskan.
Malin tak pernah menitipkan barang atau pesan apapun kepada ibunya.
Itulah yang dilakukan Mande Rubayah setiap hari selama bertahun-tahun.
Tubuhnya semakin tua dimakan usia. Jika berjalan ia mulai terbungkuk-bungkuk.
Pada suatu hari Mande Rubayah mendapat kabar dari teman yang pernah merantau ke Malaka, bahwa Malin sekarang telah menikah dengan seorang gadis cantik putri seorang bangsawan kaya raya. Ia turut gembira mendengar kabar itu. Ia selalu berdo’a agar anaknya selamat dan segera kembali menjenguknya.
“Ibu sudah tua Malin, kapan kau pulang … “ rintih Mande Rubayah tiap malam. “Ya Tuhan … lindungilah anakku dari segala marabahaya, pertemukanlah ia denganku sebelum ajal datang menjemputku.”
Namun hingga berbulan-bulan semenjak ia menerima kabar Malin belum juga datang menengoknya. Namun ia yakin bahwa pada suatu saat Malin pasti akan kembali.
Harapannya terkabul. Pada suatu hari yang cerah dari kejauhan tampak sebuah kapal yang indah berlayar menuju pantai. Kapal itu megah dan bertingkat-tingkat. Orang kampung mengira kapal itu milik seorang sultan atau seorang pangeran. Mereka menyambutnya dengan gembira.
Ketika kapal itu mulai merapat, tampak sepasang muda-mudi berdiri di anjungan. Pakaian mereka berkilauan terkena sinar matahari. Wajah mereka cerah dihiasi senyum. Mereka nampak bahagia karena disambut dengan meriah.
Mande Rubayah yang sudah tua renta terbaring sakit di rumahnya. Burhan dan istrinya – teman Malin semenjak kecil segera mendatangi Mande Rubayah. Mereka memapah Mande Rubayah yang berjalan tertatih-tatih menuju tepi pantai.
Dengan susah payah Mande Rubayah ikut berdesakan melihat dan mendekati kapal. Jantungnya berdebaran keras. Dia sangat yakin sekali bahwa lelaki muda itu adalah anak kesayangannya si Malin Kundang.
Belum lagi ketua Desa sempat menyambut, ibu Malin terlebih dahulu menghampiri Malin. Ia langsung memeluk Malin erat-erat. Seolah takut kehilangan anaknya lagi.
“Malin, anakku,” katanya menahan isak tangis karena gembira. “Mengapa begitu lamanya kau tidak memberi kabar?”
Malin terpana karena dipeluk wanita tua renta yang berpakaian compang-camping itu. Ia tak percaya bahwa wanita itu adalah ibunya.
Seingat Malin, ibunya adalah seorang wanita berbadan tegar yang kuat menggendongnya ke mana saja. Sebelum dia sempat berpikir dengan tenang, istrinya yang cantik itu meludah sambil berkata, “Cuih! Wanita buruk inikah ibumu? Mengapa kau membohongi aku?”
Lalu dia meludah lagi. “Bukankah dulu kau katakan ibumu adalah seorang bangsawan sederajad dengan kami?”
Mendengar kata-kata istrinya, Malin Kundang mendorong wanita itu hingga terguling ke pasir. Mande Rubaya hampir tidak percaya pada perlakuan anaknya, ia jatuh terduduk sambil berkata “Malin, Malin, anakku. Aku ini ibumu, Nak!”
Malin Kundang tidak menghiraukan perkataan ibunya. Pikirannya kacau karena ucapan istrinya. Seandainya wanita itu benar ibunya, dia tidak akan mengakuinya. Ia malu kepada istrinya. Melihat wanita itu beringsut hendak memeluk kakinya, Malin menendangnya sambil berkata “Hai, Perempuan tua! Ibuku tidak seperti engkau ! Melarat dan dekil !”
Wanita tua itu terkapar di pasir. Burhan dan istrinya hampir tak percaya melihat kejadian itu.
”Malin …!” teriak Burhan, “Setega itukah hatimu? Dia adalah ibumu! Ibu kandungmu sendiri!”
“Siapa pula kau anak muda?” hardik Malin pada Burhan.
“Aku Burhan temanmu bermain sejak kecil!”
“Aku tidak mengenalmu!” bentak Malin.
Mande Rubayah yang barusan terkapar dengan susah payah dibantu istri burhan segera bangkit, “Malin … benarkah kau sudah lupa pada aku ibumu Mande Rubayah.”
“Hai wanita tua dan miskin, aku saudagar kaya, bukan anakmu. Enyahlah kau dari hadapanku.”
Perempuan tua itu akhirnya hanya bisa menangis. “Ya Allah, Malin Kundang rupanya malu mengakui aku sebagai ibunya.”
Tiba-tiba Malin Kundang menunjuk ke arah Bendahara kapal “Hai bendahara kapal, berilah wanita tua ini uang agar tidak menggangguku.”
Mande Rubayah cepat menyahut “Tidak! Aku tidak butuh uang!”
“Hai wanita tua dan miskin kau tidak butuh uang, lalu apa yang kau inginkan dariku?”
“Aku hanya butuh pengkuan bahwa aku adalah ibumu, setiap hari aku merindukanmu!"
"Sudah kukatakan aku bukan anakmu, kau bukan ibuku! Jika kau memaksaku akau kusuruh orang-orangku berbuat kasar padamu!"
Mande Rubayah terhenyak, benar-benar hancur hatinya dengan lemas ia berkata lembut "Baiklah anak muda, mungkin mataku ini sudah rabun salah mengenali orang. untuk itu aku minta ma'af kepadamu karena aku telah mengganggumu."
"Nah, begitu kau seharusnya tahu diri sejak tadi!" sahut Malin.
Tiba-tiba Mande Rubayah mampu berdiri tegak. Entah kekuatan apa yang menyertainya. Sepasang matanya berkilat-kilat, ketika bicara suaranya terdengar lantang.
"Tetapi anak muda ...! Jika kau adalah anakku yang kuberi nama Malin Kundang, yang kukandung selama sembilan bulan sepuluh hari. Dan kubesarkan dengan cucuran air susuku, maka terkutuklah engkau!"
Semua orang kaget mendengar ucapan wanita renta ini. Wanita tua ini kemudian bersimpuh di atas tanah, dengan sungguh-sungguh ia berdo'a, "Ya Allah ya Tuhanku, Engkau lebih tahu hukuman apa yang harus kau berikan kepada anak durhaka ini! Anak yang telah mencaci maki ibunya sendiri! Menghina ibu kandung di hadapan istrinya dan orang banyak! Ya Allah tujukkanlah kebesaran-Mu."
Malin Kundang dan istrinya, beserta seluruh awak kapal dan penduduk yang berkerumun merinding mendengar ucapan Mande Rubayah.
"Burhan mari kita tinggalkan tempat ini!" kata Mande Rubayah. Wanita itu segera dipapah menuju rumahnya.
Orang banyak terpana dan kemudian pulang ke rumah masing-masing. Rombongan Malin Kundang juga segera kembali ke kapal. Tak berapa lama Pantai Air Manis sudah sepi. Kapal berlayar ke tengah laut. Meninggalkan bekas kekecewaan seorang ibu tua yang tersia-sia.
Di dalam kapal pesiar yang mewah, Malin Kundang nampak gelisah. Bagaimanapun ia tak bisa membohongi diri sendiri. Ia ngeri membayangkan kutukan ibunya.
Terbesit rasa sesal di dalam hatinya. "Mengapa aku tega berbuat demikian, padahal dia adalah ibu kandungku sendiri."
Di sudut hatinya yang lain ia menghibur diri, mudah-mudahan wanita tua itu bukan ibunya. Kutukannya tidak menjadi kenyataan, ia akan hidup bahagia bersama istrinya hingga hari tua.
Istri ... ? Jika ia ingat istrinya ia jadi gemetar, justru karena rasa malu pada keluarga istrinya ia telah tega berbuat jahat terhadap ibunya.
"Oh ibu ... !" tanpa sadar terdengar teriakan lirih dari bibir Malin Kundang. "Ma'afkan anakmu ini ... !"
Istri Malin Kundang ada di sampingnya kaget mendengar ucapan suaminya.
"Kanda ...! Ada apa kiranya? Apakah wanita tua itu benar-benar ibumu?" tanya istri Malin Kundang dengan gelisah.
Kapal terus bergerak ke tangah laut. Melalui gunung monyet terus menuju Malaka. Tiba-tiba cuaca yang tadinya cerah berubah total menjadi kelam bahkan menjadi gelap, tak berapa lama kemudian hujan turun dengan hebatnya disertai badai.
Langit semakin kelam, angin bertiup semakin kencang, gelombang lautan semakin membumbung tinggi. Tiba-tiba terdengar suara halilintar menyambay membelah langit. Disusul hujan badai yang menimbulkan gelombang besar, mengamuk dan menakutkan.
Jika alam sudah murka tak ada lagi kesombongan manusia. Mereka hanya berusaha semampunya, lalu pasrah kepada sang pencipta alam.
Seluruh awak kapal dicekam ketakutan.
Malin Kundang keluar dari bilik menuju geladak kapal. Dia berusaha memberi arahan kepada anak buahnya agar dapat mengendalikan kapal yang sudah tak karuan arahnya.
Tiba-tiba nampak bayangan ibunya yang tua renta. Terbayang pula saat ia mendorong wanita itu hingga rebah ke tanah.
"Emaaaak .... !" tanpa sadar ia berteriak memanggil ibunya.
Istri Malin kaget, ia ikut keluar geladak, melihat suaminya kebingungan dan ketakutan seperti melihat hantu.
"Kakanda ... apa yang terjadi ...?" tanya istri Malin Kundang dengan penuh rasa takut dan kawatir.
"Wanita tadi ... wanita tua dan miskin itu ... dia adalah ibuku sendiri, Emakku sendiri ... !"
"Apa? Wanita itu ibumu sendiri? Astaga! Celakalah kita kali ini."
"Benar ! Aku telah durhaka kepada ibuku sendiri, ibu yang telah mengandung dan membesarkanku dengan air susu dan kasih sayangnya, sungguh aku telah berdosa ... sungguh aku menyesal!"
"Kakanda mengapa kau tidak mengtakannya sejak tadi?" Malin seperti tak mendengar pertanyaan istrinya lagi. Gemuruh ombak dan petir bersaut-sautan, menambah seramnya suasana di tengah laut, kapal oleng ke sana ke mari tanpa dapat di kendalikan lagi.
Tiba-tiba ombak setinggi bukit, menghempas dan menerjang lambung kapal Malin Kundang. Kapal jadi terguncang hebat, tubuh istri Malin terlempar ke laut yang sedang mengganas.
"Kakandaaaa ... ! Tolong Akuuuu ....!"
Malin hanya bisa memandangi tubuh istrinya yang terjatuh ke laut. Jangankan menolong istrinya, menyelamatkan diri sendiri saja ia tak mampu. Satu persatu awak kapal juga terlempar ke laut, Malin makin panik dan ketakutan.
"Emak ... ampuni akuuu ... cabutlah kutukanmu ... !"
Tapi suara gemuruh ombak dan badai terlalu keras dan dahsyat, menelan suara anak manusia yang bagaikan setitik debu di tengah laut.
"Emak ampuni akuuuu ....!"
Tapi nasi sudah menjadi bubur, rasa sakit seorang ibu telah berubah menjadi ketakutan alam yang dahsyat. Gelombang laut semakin mengganas, diiringi badai dan guntur yang membahana. Menelan teriakan Malin yang mohon ampun kepada ibunya.
Tak terhindarkan lagi, di telu Air Manis, kapal Malin terhempas dan kandas. Malin Kundang tewas.
Ketika matahari pagi memancarkan sinarnya, badai telah reda. Di kaki bukit terlihat kepingan kapal yang telah menjadi batu. itulah kapal Malin Kundang. tak jauh dari tempat itu nampak sebongkah batu yang menyerupai tubuh manusia. Konon itulah tubuh Malin Kundang anak durhaka yang kena kutuk ibunya menjadi batu. Di sela-sela batu itu berenang-renang ikan teri, ikan belanak, dan ikan tenggiri. Konon, ikan itu berasal dari serpihan tubuh sang istri yang terus mencari Malin Kundang.
Demikianlah, sampai sekarang, jika ada ombak besar menghantam batu-batu yang mirip kapal dan manusia itu, terdengar bunyi seperti lolongan jerit manusia. Sungguh memilukan kedengarannya. Kadang-kadang bunyinya seperti orang meratap menyesali diri. "Ampuuuun, Bu ... ! Ampuuuu, Bu ... !" konon itulah suara si Malin Kundang.